Rasanya argumentasi bahwa kompetisi di Inggris, Italia dan Spanyol adlh yg terbaik di dunia, hampir disetujui oleh semua penggemar sepakbola. Perselisihan baru muncul ketika membandingkan liga mana yg terbaik dan terhebat. Opini dan fakta pun berhamburan demi menguatkan pengakuan. Misalnya, dikatakan physical pressure di Premiership lebih manjur dari taktik ruwet Serie A. Diyakini gaya mengalir La Liga sulit dibendung oleh tekanan fisik Premiership. Dianalisis cattenacio Serie A selalu mengacaukan gaya menyerang La Liga. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kita bisa terjebak polemik tak berujung jika melulu ngotot pada persepsi teknis seperti itu. Memang ada byk faktor utk dpt mengklaim pemilik liga terbaik. Barisan bintang yg ada, deretan trofi yg direbut, mutu permainanya, rata-rata golnya, daya saing klub dan seberapa byk klub legendarisnya. Namun agar seimbang, anda jg harus berbicara mengenai eksistensi liganya plus fakta bisnisnya seperti kemampuan mereka menarik pemain terbaik dan seberapa besar sponsor yg didapat. Inilah sebagian kriteria utk menjadi best of the best.
Pendapat pertama yg sering dimunculkan adlh seberapa byk pemain terbaik, super bintang yg ada. Utk urusan ini biasanya di setiap dekade, La Liga tak pernah kalah atau tak mau kalah. Sejak jaman Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas hingga Johan Cruyff dan Diego Maradona. Disambung Ronaldo, Rivaldo, Ronaldinho, Zidane, Beckham hingga sekarang Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Kaka, sinar kompetisi liga spanyol tak pernah redup.
Walau dipenuhi mega bintang, namun La Liga memiliki kelemahan elementer karena deretan bintang tersebut kebanyakan hanya menghuni Barcelona dan Real Madrid saja. Sesuai sumber kekayaannya, klub-klub lain diluar mereka berdua sulit menyainginya. Serie A msh lebih seru sebab rata-rata klub msh punya satu-dua pemain bintang walaupun kadarnya dibawah bintang-bintang La Liga. Namun berkat asas pemerataan dan kemampuan yg terbatas serta faktor etika, gebyarnya cukup mengangkat juga.
Selain Inter, Juventus, AC Milan, atau Roma, klub-klub spt Fiorentina, Lazio, Sampdoria, atau Napoli sering jg masuk ke dalam barisan penantang dan juga berisi pemain-pemain berkelas. Bahkan di era 80an atau 90an utk urusan pemain bintang, Serie A adlh rajanya. Utk urusan superstars dunia, Premiership belum bisa menyaingi Serie A kala itu, atau kini super bintang yg bertebaran di La Liga jaman kini.
Sejak 2003 ketika nama Roman Abramovich tiba-tiba masuk ke jagat sepakbola Eropa, kemapanan La Liga dan Serie A mulai diusik Premiership. Gaung Premiership mulai terasa.
Sementara Serie A makin terbenam dgn surutnya kebintangan dan daya saing, plus dampak mega kasus Calciopoli, Premiership terus melahirkan ikon-ikon baru. Wayne Rooney, Frank Lampard, Steven Gerrard atau Gareth Bale. Anggapan yg sulit dihindari adlh klub yg punya super-bintang akan menjadi market leader dalam dunia transfer.
Selama Rooney dan Bale dgn usia mudanya itu eksis berkecimpung maka prospek Premiership di masa dpn terus terjaga. Sama halnya dgn Messi dan Ronaldo di La Liga. Semakin byk bintang-bintang muda di berbagai klub, artinya semakin cerah saja masa dpn liga tsb. Utk urusan ini, Serie A tampak terbelakang. Setelah era Del Piero, Totti atau Nesta usai, eksistensi Serie A tinggal disandarkan kpd De Rossi atau Ricardo Montolivo saja. Apalagi setelah Balotelli diangkut ke Inggris.
Anekdot sederhana ttg perang diantara ketiga liga tsb mungkin spt ini : Premiership mudah menarik bintang Serie A. Faktor penyebabnya adlh iming-iming gaji dan publisitas. Namun ketika mulai mapan atau tengah mapan-mapannya, giliran La Liga yg mengambilnya dari Premiership. Alasannya jg mirip-mirip, selain gaji tdk lain adlh karena faktor pajak penghasilan jauh lebih rendah dibanding di Italia dan Inggris. Kadang alasan ini berhasil memikat bintang-bintang yg non-idealistis, tp yg materialistis.
Sepakbola di abad 21 sgt berbeda dgn abad sebelumnya. Ini abadnya bisnis di segala celah. Di dunia ini hanya ada AS dan Eropa, di mana byk perkumpulan olahraga juga menjadi perusahaan-perusahaan terkaya sejagat. Di AS, bisbol atau basket selalu bertempur dgn American Football, tp di Eropa hanya ada satu penguasa bisnis olahraga, yaitu sepakbola. Dan tiga negara terdepan yg sgt berkepentingan dgn olahraga ini lantaran jd sumber devisa adl Inggris, Spanyol, dan Italia. Siapa pemenangnya amat jelas, kini bukan lagi Italia.
Sponsor, hak siar televisi dan marketing revenue jd sumber pemasukan utama yg terus dipergunakan sbg sebuah bisnis atau brand drpd sebuah olahraga. Penjualan kostum replika sama pentingnya dgn penjualan karcis penonton. Siapa pemain yg kaosnya terjual lebih byk dari rekan setimnya, dia akan digaji lebih besar. Itulah alasan utama kepindahan Zidane, Beckham, Ronaldo, Kaka pindah ke La Liga. Dan itu pula alasan knp Premiership sulit mengijinkan Rooney, Chicarito, Bale, Torres utk keluar dr tanah Inggris.
Pendapat berikut yg menentukan kehebatan sebuah liga boleh jg dilihat dari tipikal bermain. Teknik, karakteristik, atau gaya bermain sgt berpengaruh kpd kepopuleran sebuah liga krn dalam perjalanan waktu dianggap sbg merek. Biasanya semakin multikultural warna yg ada, prospeknya semakin besar. Dalam konteks ini, Premiership lebih unggul dari Serie A atau La Liga. Jika Serie A dipersepsikan defensif, La Liga dikenal agresif, maka Premiership memiliki keduanya.
Ciri sepakbola di Italia, Spanyol dan Inggris punya penganut masing-masing. Gaya Serie A berbasis kontrol, teknik, penuh taktik, serta mengandalkan kesabaran. Walau metodenya beda dgn era 60an, namun roh catenaccio msh dijadikan patron utama hingga kini lantaran gaya ini sebenarnya lebih bernuansa kultural ketimbang teknis. Permainan puritan ala Italia bahkan dihujat di Skandinavia sebab lebih kental corak Mediterania nya. Org-org Italia main catur lewat sepakbola, sehingga pendekatan sistemik sgt dijunjung ketimbang pendekatan teknik atau fisik. Tak ada bek-bek sehebat bek Italia soal fungsi dan akting bermain. Mereka selalu memperhatikan ruang permainan drpd cara mengumpan. Memelototi gerakan lawan ketimbang membuka serangan. Mengontrol permainan dan lawan lebih utama daripada bermain cantik dan agresif. Pola ini membutuhkan kemampuan teknis dan seni yg tinggi. Sebab semua pemain wajib lihai membaca permainan. Mereka tak terlalu obsesif dgn gaya ofensif utk melahirkan peluang. Buat apa repot-repot bikin peluang kalau cuma utk satu gol?
Anti tesis Serie A adlh Premiership. Penekanan ada pada kekuatan, kecepatan, dan pengendalian. Gaya Inggris jg sempat dicemooh org krn permainannya didikte oleh fisik dan seringkali memakai cara-cara spekulasi dan imajiner. Misalnya fenomena long ball, direct passes, kick and rush. Yang menarik, tugas dan tanggung jawab pemain di Premiership ditentukan oleh ukuran tubuh dan kemampuan fisik. Ada yg bertugas menggiring bola, menghadang lawan, mengganggu bek atau kiper lawan yg membuat Premiership dianggap jauh dari keanggunan bermain.
Bgmn dgn La Liga? Inilah tipikal Spanyol yg sama sekali tdk mau disusupi gaya Inggris dan Italia. Karakteristik La Liga menyadur dari sepakbola ala Amerika latin. Sepakbola mereka amat kental dgn atraktif, agresif, dan kecepatan. Mereka spt mengulangi kebijakan politik jaman kolonialisme, dimana nuansa kehidupan di Amerika latin merupakan penjelmaan warna kehidupan di Spanyol. Walhasil, sumber daya yg dipakai juga mesti diambil dari seberang benua sana.
La Liga merupakan sarang dari bakat-bakat anak-anak Latino. Anak-anak muda mereka selalu bermimpi utk bisa bermain di Barcelona atau Real Madrid. Sepakbola di La Liga hanya punya satu tujuan, permainan menyerang! Dan kunci kekuatan utk itu ada pada peran gelandan dan pemain sayap. Bukan bek atau kiper di Italia, atau striker spt di Inggris. Penguasaan di pertahanan amat minim, sebab seorang bek pun adlh penyerang. Gaya Spanyol kerap dianggap gaya arogan spt layaknya matador yg membunuh banteng.
Setelah Spanyol meraih double platinum juara Euro 2008 dan Fifa 2010, konsep permainan cantik kembali diagungkan org. Sewaktu Perancis meraih trofi sama pada 1998 dan 2000, rasanya tdk ada yg diagungkan. Hal yg sama andaikata Italia berjaya. Mengapa giliran Spanyol jd ramai sekali? Ini juga dikendalikan faktor budaya. Alasan utama sepakbola Spanyol adlh eksibisionisme. Apapun dilakukan demi decak kagum. Ketika eranya tiba, maka gaya ini mutlak jd yg terbaik dibandingkan Inggris dan Italia.
Pendapat terakhir utk menentukan liga terbaik adalah daya saing yg ada didalamnya. Secara gamblang, sebenarnnya jawabannya mudah. Pemenangnya pasti Premiership. Kenapa? Di Inggris, awalnya ada empat klub yg bisa jd juara. Tapi pola ini mulai tdk dipercaya sejak lahirnya klub-klub penantang baru. Manchester City, Tottenham, Everton atau Aston Villa. Namun di Italia, kesan tiga klub juara msh sangat kental. Tiga klub yg sulit diusik tiap musimnya selalu Inter, Juve dan Milan.
Yg paling parah sekali jelas La Liga. Belakangan makin sulit bagi klub-klub di luar Barcelona dan Real Madrid utk bisa bersaing juara. Enam tahun terakhir, juara La Liga hanya diantri oleh mereka.
Sbg konklusi dari argumentasi awal, tampaknya peran pemain bintang, pola bisnis, dan gaya permainan memang cukup signifikan utk dijadikan persepsi sbg liga terbaik. Namun demikian, disebabkan sepakbola kini telah menjelma jd industri dan dikendalikan oleh bisnis, dimana atribut utamanya adlh uang, maka Premiership sbg liga terhebat, setidaknya sulit direbut lagi oleh Serie A. Peperangan Premiership dan La Liga di pentas sepakbola dunia tdk terelakkan. Inggris berjaya di Asia, Spanyol di Amerika.
Powered by WordPress for Android
-6.134482
106.803601