Sampingan

Efek Maurizio Sarri di Chelsea

Chelsea-team-news-1037152

Formasi dan taktik adalah dua hal yang berbeda dalam sepakbola. Sebuah formasi menentukan posisi dari pemain dengan spesifikasi tertentu dalam pertandingan, tapi sebuah taktik menentukan apa yang seorang pemain harus lakukan pada posisinya tersebut.

Liga Primer bukanlah liga yang mengedepankan taktik namun satu hal yang berkembang belakangan ini bahwa tim-tim Inggris cukup bagus dalam meniru hal-hal yang baru dalam pemahaman taktik yang dibawa oleh beberapa manajer asing liga mereka.

Contoh yang paling bagus adalah ketika Antonio Conte menggunakan formasi tiga bek ketika membawa Chelsea juara musim 2016/2017 lalu. Belum pernah ada tim Liga Primer yang menjuarai liga dengan formasi tersebut.

Sepakbola cenderung berputar seperti kehidupan. Ketika hal baru dalam sepakbola dianggap inovatif dan ternyata berhasil, maka cara-cara itu akan diikuti oleh beberapa tim lain sampai berhasil dan hingga hal tersebut menjadi tidak familiar lagi dan akhirnya tidak bekerja lagi sebagaimana awalnya.

Sebelum Claude Makalele datang ke Chelsea, gelandang-gelandang di Inggris bertipe box-to-box. Kedatangan Makalele memperkenalkan suatu peran baru yang sampai saat ini masih menjadi dasar fundamental dalam sepakbola modern belakangan ini. Sejak ia sukses bersama Chelsea, setiap tim di Liga Primer menggunakan peran gelandang bertahan untuk bisa menyerupai kualitas yang dimiliki oleh Chelsea.

Secara logika, memiliki seorang penghancur serangan di depan barisan pertahanan dapat membebaskan peran seorang gelandang kreatif untuk dapat menyerang lebih leluasa. Situasi seperti inilah yang membuat klub-klub Inggris menginginkan gelandang bertipe Makalele di dalam timnya.

Namun di Chelsea sekarang ini, Maurizio Sarri tidak menggunakan pendekatan tersebut. Alih-alih memasang gelandang bertenaga sebagai jangkar, Sarri mendatangkan Jorginho. Jorginho bukanlah pemain yang mempunyai kekuatan atau tackling layaknya N’Golo Kante, tapi keunggulannya adalah ketenangan saat menguasai bola dan akurasi umpannya.

Dalam pemikiran Sarri, ketika ingin membangun serangan dari belakang maka kita harus memiliki pemain yang bagus secara teknik pada posisi sedalam mungkin. Jorginho mengukir rekor sebagai pemain yang paling banyak melepaskan umpan sukses sebanyak 180 kali pada pertandingan melawan West Ham United  di Liga Prmer. Penampilan seperti itulah yang diinginkan oleh Sarri di timnya. Jorginho adalah seorang pengatur ritme. Dia terus membuat jantung timnya berdetak tanpa henti. Sarri menganggap pemain bertipe ini sangat disayangkan jika harus bermain lebih kedepan ketika ruang menjadi lebih sempit sehingga membuat daya jelajah jadi berkurang dan kesempatan untuk mengekploitasi bola berkurang.

Meskipun Jorginho berhasil pada awal musim ini, beberapa pendukung Chelsea masih mempertanyakan alasan Kante dipindahkan dari posisi terbaiknya selama dua musim belakangan. Jika kita merujuk kepada jawaban Sarri mengenai hal tersebut, mengapa harus menunggu hingga lawan berada di depan garis pertahanan sebelum memutuskan serangannya? Sarri memiliki opsi memainkan dua gelandang agresif yang bermain di depan Jorginho yaitu antara Kante, Barkley atau Kovacic. Tujuannya adalah supaya dua gelandang tersebut menekan lebih tinggi dan memutus serangan lawan lebih dini sebelum membahayakan. Dengan menghentikan serangan lawan lebih awal, maka menjadikan Jorginho lebih bebas untuk berkreasi di tengah.

Memainkan gelandang perebut bola di posisi lebih depan dan gelandang kreatif bermain lebih dalam adalah sebuah pemikiran pintar dari Sarri yang telah dimainkannya selama bertahun-tahun. Sepertinya apa yang dilakukan Sarri ini tidak lama lagi akan ditiru juga oleh tim-tim lain di liga.

Klub-klub lain akan berlomba mencari Jorginho-nya sendiri. Pemain yang berdiri di depan para bek juga mendikte permainan. Sampai akhirnya semua tim melakukannya hingga taktik tersebut tidak berguna lagi karena sudah sangat terprediksi oleh tim lawannya.

Cepat atau lambat, waktu akan akan menggulirkan masanya dimana seorang manajer akan menunjukkan kepada kita sebuah fase yang baru lagi dalam perputaran roda sepakbola. Dan hal tersebut akan terjadi berulang dan berulang lagi.

Sampingan

Return to writing

Menulis kembali merupakan kegiatan yang terbesit di dalam benak saya sekitar satu bulan yang lalu. Tentu saja pikiran tersebut timbul setelah saya merasakan kebosanan selama menganggur sekitar 4 bulan ke belakang.

Pada awalnya adalah mengikuti ajakan teman yang berniat membuat sebuah halaman penggemar di Facebook. Ide nya simpel, menulis tentang sepakbola (dalam bahasa Indonesia) secara taktis. Maksud dari taktis disini adalah menulis sepakbola dengan struktur penulisan yang mengikuti kaedah penulisan mirip-mirip dengan tulisan tugas akhir mahasiswa.

Kenapa tema sepakbola yang dipilih? Jawabannya ya karena sepakbola lah yang menyelimuti pikiran kami berdua. Tiap pekannya ketika ada pertandingan sepakbola, terutama liga Inggris, kami berdua selalu balas-membalas WhatsApp yang isi obrolannya adalah seputar taktik, gaya pelatih dan permainan keseluruhannya.

Dengan semangat seorang pengangguran, dimulailah kerja otak kami untuk menulis artikel di halaman Facebook tersebut. Oh ya, nama halamannya adalah 12PAS. Saya senang menyebutnya dengan 12PAS Football Magazine. Biar agak keren aja. Oke selamat menulis kembali, Yusuf!

Note: beberapa tulisan diposkan juga ke dalam blog ini. Jadi ada 2 tulisan yang sama, satu di Facebook dan satu lagi di WordPress inilah.

Terimakasih.

Sampingan

Perbedaan Wing-Back dengan Full-Back

 

Perkembangan formasi dan taktik yang begitu pesat dalam sepakbola seringkali membuat kita bingung akan berbagai istilah taktik terkini. Salah satu istilah sepakbola yang kerap membuat kita kesulitan mendefinisikan adalah perbedaan antara wing-back dan full-back.

Untuk dua istilah ini terkadang kita tak akan dengan mudah menjelaskannya meski kedua istilah ini cukup familiar. Terdapat banyak kesamaan di antara keduanya yang membuat makna sebenarnya menjadi kabur.

Wing-back dan full-back keduanya berposisi (ya, ini istilah terkait posisi bukan peran) di sayap atau sisi lapangan. Salah satu contoh pemahaman yang kerap membuat bingung adalah full-back yang kita sering menyebutnya bek sayap. Padahal secara harfiah, bek sayap jika di-Inggris-kan akan menjadi wing-back; wing yang artinya sayap dan back berarti bek atau pemain belakang. Sedangkan tentu saja wing-back berbeda dengan full-back.

Untuk memahami keduanya, kita memang harus memahami dulu lebih jauh tentang awal berkembangnya formasi sepakbola. Dan khusus untuk posisi full-back dan wing-back ini, kita perlu memahami formasi 2-3-5.

Perkembangan Formasi dan Sejarah Full-back

Pada formasi 2-3-5, yang menurut Jonathan Wilson dalam bukunya Inverting the Pyramid sudah digunakan sejak 1870-an, lima pemain terdepan disebut forward, tiga di belakang penyerang disebut half-back, sedangkan untuk dua pemain paling belakang disebut full-back. Pada masa itu, full-back benar-benar pemain yang bertugas untuk bertahan.

Full-back kemudian berevolusi hingga seperti sekarang ini karena pada formasi 2-3-5 pemain half-back yang beroperasi di tengah, centre half-back, kerap turun membantu pertahanan sehingga ‘membelah’ area bermain dua full-back.

Mundurnya pemain centre half-back membuat pemain full-back lebih bertugas menjaga pertahanan di sekitar area sayap. Garis besarnya, full-back pada praktiknya lebih sering menjaga lebar lapangan meski secara pakem formasi 2-3-5, dua pemain full-back berada di area tengah lini pertahanan.

Perkembangan taktik kemudian mulai bergeser dari 2-3-5 ke formasi andalan Vittorio Pozzo dengan metodo (2-3-2-3), hingga formasi WM (3-2-2-3) yang diciptakan oleh legenda Arsenal, Herbert Chapman. Pada era ini, pemain paling belakang masih disebut full-back, entah itu dua pemain atau tiga pemain.

Meskipun begitu, formasi WM sebenarnya menjadi ‘pintu masuk’ full-back untuk menjadi pemain bertahan di lebar lapangan secara posisi. Karena full-back yang ditempatkan di tengah pada formasi WM atau 3-2-2-3, diciptakan untuk menjadi penjaga pemain centre-forward lawan. Namun karena saat itu full-back masih identik dengan pemain bertahan, centre-back masih disebut full-back.

Ketika formasi 4-2-4 digunakan timnas Brasil pada 1950-an, barulah saat itu mulai mengenal istilah centre-back. Pada formasi empat bek ini, terdapat dua pemain centre-back di mana kedua pemain ini diapit oleh dua full-back di sisi kanan dan kiri.

‘Lahirnya’ dua centre-back ini agar lini pertahanan tetap kuat dan tak kurang jumlah pemain, sementara di lini depan memiliki daya serang tinggi dengan enam pemain (dua forward, dua winger, dan dua half-back. Dua half-back di tengah ini lebih aktif membantu penyerangan sehingga dibutuhkan dua pemain untuk memperkokoh area tengah pertahanan, kedua pemain itulah yang disebut centre-back.

Pada pola 4-2-4 ini, area bermain full-back mulai bergeser ke sayap, benar-benar di sayap. Meskipun begitu, secara fungsi, full-back pada formasi ini tak jauh berbeda dengan full-back pada skema dua bek atau tiga bek yang sering bermain melebar.

Sementara itu, adanya posisi centre-back merupakan posisi yang dipertegas bahwa pemain ini benar-benar difungsikan untuk menjaga area tengah pertahanan. Sejak skema empat bek itulah full-back mulai identik dengan bek sayap karena pemain yang berposisi sebagai full-back benar-benar beroperasi di sisi sayap lapangan.

Wing-back Berkembang Bersama Bangkitnya Pola 3-5-2

Menurut Guardian, saat formasi dengan empat bek (khususnya dari 4-2-4 beralih ke 4-4-2) mulai banyak digunakan, pelatih timnas Argentina di pertengahan 1980-an, Carlos Bilardo, muncul dengan pola 3-5-2. Formasi ini ia gunakan untuk mengakomodasi potensi yang dimiliki kapten timnas Argentina saat itu, Diego Armando Maradona, dengan menempatkannya sebagai penyerang di antara lima gelandang dan satu penyerang tengah.

Saat ia dan timnas Argentina tur Eropa pada 1984, jurnalis asal Swiss (karena Argentina saat itu hendak dijamu timnas Swiss) keheranan karena Bilardo menyebut akan menggunakan tiga bek. Apalagi sebelumnya, ia hanya menang tiga kali dari 15 pertandingan.

“Mereka bilang saya keliru ketika saya hanya menyebut tiga pemain bek tengah,” ujar Bilardo seperti yang ditulis Guardian. “Tapi saya mengatakan pada mereka bahwa saya tidak sedang kebingungan. Karena kami akan menggunakan tiga bek, lima gelandang, dan dua penyerang. Kami telah melatihnya selama dua tahun, dan saya akan memasangnya pada latihan pertandingan yang berat ini.”

Bilardo menyebut bahwa ia hendak memainkan lima gelandang kala itu. Dan formasi 3-5-2 yang ia rencanakan adalah dengan memasang lima gelandang untuk menopang Maradona. Di sayap, ia tak memasang pemain bertahan, melainkan Ricardo Giusti yang berposisi gelandang bertahan dipasang di sayap kanan. Swiss kemudian dikalahkan dengan skor 2-0, begitu juga dengan timnas Belgia.

Skuat Billardo itu kemudian bertemu dengan timnas Jerman Barat di final Piala Dunia 1986. Saat itu, pelatih timnas Jerman Barat, Franz Beckenbauer, berhasil membuat skuat asuhannya begitu tangguh dengan satu libero, dua bek tengah, dua pemain bek sayap, dua gelandang bertahan, satu playmaker, dan dua penyerang yang jika digambarkan akan membentuk formasi 5-3-2.

Jerman Barat saat itu hanya menempatkan satu pemain di sisi kanan dan satu pemain di sisi kiri, seperti taktik Bilardo. Meskipun begitu, Jerman Barat gagal menaklukkan Bilardo karena pertandingan berakhir dengan skor 2-3 untuk Argentina.

Jerman Barat baru juara dengan skema tiga bek empat tahun kemudian. Masih ditukangi Beckenbauer, ia sedikit mengubah permainan bek sayapnya untuk menjadi lebih ofensif. Menurut Guardian, tak ada lagi pemain libero dengan memainkan sweeper pada pola ini. Dan hasilnya, Beckenbauer kali ini berhasil mengalahkan Bilardo yang menggunakan formasi tak jauh berbeda seperti pada Piala Dunia sebelumnya dengan skor tipis 1-0.

Dari sini wing-back mulai identik dengan pemain sayap yang cukup ofensif. Dalam formasi 3-5-2, pemain sayap pada formasi ini merupakan satu-satunya pemain sayap di masing-masing sisi. Hal ini menyebabkan baik penyerangan maupun pertahanan dari sisi tersebut hanya dipertanggung jawabkan oleh satu orang.

Meskipun begitu, formasi 3-5-2 lebih identik dengan skema yang lebih defensif. Hal ini memang akan memancing perdebatan, mengingat wing-back biasanya ikut turun hingga sejajar dengan tiga bek sehingga akan lebih banyak pemain bertahan di area pertahanan.

Namun skema 3-5-2 pun tak menutup kemungkinan untuk bermain lebih ofensif. Skema tiga bek akan menjadikan adanya bek lain yang siap meng-cover sisi sayap, centre-back akan berperan seperti full-back di era 2-3-5, 2-3-2-3 atau 3-2-2-3.

Karenanya pemain yang bermain sebagai wing-back sering diisi oleh pemain yang memiliki kemampuan ofensif yang lebih menonjol (di samping stamina dan kecepatan) serta memiliki kemampuan track back yang baik. Itulah mengapa Kwadwo Asamoah yang awalnya berposisi gelandang tengah tak kesulitan bermain sebagai wing-back dalam formasi 3-5-2 Juventus era Antonio Conte atau Louis van Gaal yang lebih membutuhkan Ashley Young atau Antonio Valencia ketika hendak memasang formasi 3-5-2.

Sementara itu, full-back lebih identik dengan aksi defensifnya. Full-back diisi oleh pemain yang handal dalam melakukan tekel, penjagaan pemain, positioning yang baik atau fisik yang kuat. Karena idealnya, full-back memiliki tugas utama untuk menahan serangan pemain sayap lawan dengan tugas tambahan yaitu sesekali membantu serangan.

Namun tak bisa dimungkiri juga bahwa full-back masa kini kadang bermain layaknya wing-back, lebih ofensif. Tapi biasanya semakin ofensifnya permainan full-back sebuah kesebelasan, kesebelasan tersebut akan memiliki gelandang bertahan yang difokuskan menemani dua bek tengah atau penggunaan formasi dengan double pivot (dua gelandang bertahan). Bisa jadi pula hal ini yang menyebabkan menjamurnya formasi 4-2-3-1 di era sekarang ini.

Full-back identik dengan skema empat bek, sementara wing-back identik dengan skema tiga bek. Tapi jika berbicara wing-back, hati-hati pula dengan penggunaan istilah pemain sayap pada formasi 3-4-3.

Pemain sayap pada formasi 3-4-3 secara posisi bisa saja disebut wing-back. Namun jika berkaca pada 3-4-3 Pep Guardiola bersama Bayern Munchen, Pep, yang mengaku mempelajari benar taktik Marcelo Bielsa, tak menyebut pemain sayapnya sebagai wing-back, melainkan wide midfielder.

Hal ini cukup beralasan karena terdapat pemain lain yang lebih bertugas untuk menyerang sisi sayap di lini depan (diisi oleh Douglas Costa, Kingsley Coman, Arjen Robben, Franck Ribery, atau Mario Goetze). Sementara itu wide midfileder-nya (biasanya ditempati David Alaba, Phillip Lahm, Rafinha, Juan Bernat, Sebastian Rode, atau Pierre Hoejbjerg yang merupakan gelandang tengah) pergerakannya hanya sebatas hingga tengah lapangan layaknya seorang midfielder.

Ini artinya, wide midfielder dalam formasi 3-4-3 Bayern hanya bermain di sekitaran tengah lapangan ketika menyerang namun ketika bertahan menjaga area lebar lapangan. Bahkan sebenarnya tidak menutup kemungkinan 3-4-3 Pep ini akan berubah menjadi 4-3-3 atau 4-2-3-1 saat bertahan, tergantung bentuk permainan yang diinginkan sang pelatih.

Pergeseran Makna yang Membuat Kita Kebingungan

Munculnya kebingungan arti atau pemahaman mengenai full-back dan wing-back sebenarnya lebih karena adanya pemelencengan makna. Karena jika merunut sejarah, sebenarnya cukup keliru jika memiliki pemahaman bahwa full-back adalah bek yang bermain di kanan dan kiri lapangan (bukan di tengah). Justru akan jauh lebih tepat, secara harfiah, jika bek yang menjaga lebar lapangan disebut side-back.

Pun begitu dengan wing-back. Kurang tepat sebenarnya jika menyebut bahwa wing-back merupakan bek yang berposisi di lebar lapangan dengan tugas utama membantu penyerangan. Karena back, bagaimanapun, secara harfiah memiliki arti pemain belakang. Dan pemain belakang tugas utamanya tentu saja bukan untuk menyerang. Kecuali jika wing-back yang dimaksud merupakan singkatan untuk winger-back di mana winger sejak formasi 2-3-5 memang identik dengan pemain sayap untuk menyerang.

Namun setidaknya, dengan tulisan ini, kita bisa lebih memahami mana wing-back dan full-back secara posisi. Karena sebenarnya wing-back dan full-back pun akan memiliki gaya bermain berbeda jika peran yang dimainkannya lebih spesifik yang melahirkan peran complete wing-backinverted wing-backlimited full-back. Hal ini tentunya perlu penjelasan yang jauh lebih mendalam lagi.

*dari PanditFootball Indonesia

Yusuf Taqwil, pemerhati sepakbola yang masih kacangan.

Perspektif Saya : Regista

Beberapa minggu yang lalu, beberapa pengamat sepakbola Eropa terlihat antusias ketika membicarakan seorang Michael Carrick. Bermain di Manchester United sejak hampir satu dekade yang lalu dan dipanggil oleh timnas Inggris sejak 2001, Carrick agaknya kurang mendapat perhatian publik sebagai pemain penting di United.

Pada umurnya yang ke-33, Carrick baru saja menandatangani perpanjangan kontrak selama satu tahun bersama klubnya sebelum pertandingan persahabatan internasionalnya melawan Italia di Turin. Aku melihatnya sebagai perpanjangan kontrak yang mempunyai benefit untuk Manchester United. Louis Van Gaal telah membuat Carrick sebagai poros penting dalam sistem yang dibawanya di United, sebagai penghubung antara dua gelandang pekerja keras, Ander Herrera dan Marouane Fellaini. Keputusan Roy Hodgson di timnas Inggris untuk memberikan Carrick posisi inti di laga melawan Italia, sebagai pengganti Jack Wilshire yang cedera, ternyata tepat seperti yang diinginkan dalam sistem taktikalnya khususnya posisi gelandang tengah.

Meskipun sekarang Carrick sedang berada dalam top performance nya, nyatanya karir Carrick tetap tidak stabil. Posisi Deep-lying Playmaker yang merupakan posisi naturalnya tidak bisa menjamin posisi di tim inti setiap pekannya. Dia tidak diberkahi dengan kecepatan dan bukanlah pemain yang mampu menjadi orang pertama dalam melindungi barisan pertahanan. Carrick bukanlah tipikal pemain Inggris murni yang biasanya mempunyai naluri seorang box to box midfielder ataupun seorang ball winner seperti yang banyak terdapat di skuad-skuad pemain lokal di Premier League. Bakatnya sering terlupakan, bahkan disingkirkan, tetapi untuk saat ini Michael Carrick tampaknya adalah satu-satunya pemain Inggris yang mempunyai posisi natural seorang Regista.

Seiring banyaknya perubahan yang terjadi dalam posisi pemain, seorang Regista dilihat sebagai sebuah fenomena kontemporer dalam taktik. Secara umum, dalam sejarahnya, area defensif di sektor tengah biasanya ditempati oleh gelandang yang bekerja secara defensif pula tanpa diharuskan memiliki kreatifitas pada area tersebut.

Seorang pelatih yang pertama kali memperkenalkan sistem Regista adalah Vittorio Pozzo pada sekitar awal abad 20-an. Pozzo adalah pelatih timnas Italia pada 1930. Menghabiskan waktu di Inggris selama beberapa tahun untuk belajar, Pozzo mengaggumi cara bermain pemain belakang Manchester United pada waktu itu, Charlie Roberts. Roberts adalah pemain yang memiliki skill penyerangan yang bagus, padahal posisinya adalah seorang bek tengah. Dalam kasus ini, posisi Roberts adalah seorang bek tengah dalam skema tiga bek tetapi secara bergantian posisinya berubah menjadi gelandang tengah dalam formasi 2-3-5. Pozzo mengadaptasi sistem tersebut dalam caranya sendiri. Pozzo menginginkan seorang pemain tengah yang memiliki kemampuan mengalirkan bola ke depan. Dia menginginkan seorang sutradara permainan, atau dalam bahasa Italia, seorang Regista.

Vittorio Pozzo akhirnya menemukan pemain yang dia inginkan, yaitu Luis Monti, seorang pemain berkebangsaan Argentina. Luis Monti bermain untuk Argentina pada Piala Dunia 1930, dimana mereka dikalahkan oleh Uruguay di final pada saat itu. Tetapi pada 1931, Monti pergi ke Italia untuk bergabung dengan Juventus dari San Lorenzo. Dengan adaptasi yang cepat terhadap kultur cattenaccio Italia, Monti segera dipanggil oleh Pozzo untuk menjadi Regista yang dia inginkan, seorang pemain tengah dalam skema 2-3-2-3. Saat itu Monti berumur tiga puluhan, kelebihan berat badan dan tidak mempunyai kecepatan, tetapi justru itulah yang Pozzo inginkan, mundur turun ketika sedang kehilangan bola sebelum menjadi orang pertama yang menginisiasi serangan ketika sudah mendapatkan bola. Bersama Monti di jantung permainannya, tim Pozzo memenangkan Piala Dunia 1934.

Musim panas lalu, Toni Kroos bergabung dengan raksasa Spanyol, Real Madrid. Kroos adalah gelandang andalan Bayern Muenchen selama beberapa musim. Pep Guardiola tahu betul bahwa timnya memerlukan seorang pengganti Kroos yang mumpuni. Pep membutuhkan pemain yang mempunyai karakteristik mirip dengan Kroos dan juga sudah dikenal betul gaya permainannya oleh Pep. Pilihannya jatuh kepada Xabi Alonso.

Di usianya ke-32, Alonso tampak akan memulai karir barunya lagi. Meninggalkan Madrid untuk bergabung dengan Bayern. Seperti yang kita ketahui, Bayern sedang ditinggal Thiago Alcantara dan Bastian Schweinsteiger yang cedera. Alonso diharapkan menjadi penghubung lapangan dan juga seorang penjaga keseimbangan dengan kualitas permainannya. Meskipun sudah memasuki usia senja untuk seorang pesepakbola, tetapi kualitasnya tetap terjaga. Beberapa waktu yang lalu, ia mencetak rekor di Bundesliga dengan melakukan 204 passing sukses dalam satu pertandingan ketika Bayern menang 2-0 melawan FC Koln.

Guardiola menyebut kedatangan Alonso sebagai sebuah “perfect solution” dan memberikannya tempat regular di tim inti, tidak seperti yang ia dapatkan di Madrid. Alonso terbiasa bermain di poros ganda lapangan tengah, persis seperti yang Pep inginkan. Alonso diberikan kebebasan menjelajah, mundur jauh untuk turun, terkadang sejajar dengan centre-backs atau bahkan lebih dibelakangnya, hanya untuk menjemput bola dan memulai serangannya dari belakang. Seseorang yang benar-benar murni Regista. Sekarang Alonso sedang menikmati masa-masa permainanya di Bayern walaupun umurnya sudah tidak muda lagi. Ketika umur seorang pemain sudah tidak muda lagi, mereka harus mencoba mengurangi larinya serta berpikir lebih kedepan daripada sebelumnya. Dengan usia yang bertambah, pemain harus mempunyai pemahaman yang tinggi terhadap permainan, mereka harus membaca dan mengerti permainan secara lebih baik.

Jika ada seorang pemain yang tidak terpengaruh usia serta terus berada di puncak permainannya, maka orang itu adalah Andrea Pirlo. Pirlo memulai karirnya sebagai playmaker forward di Brescia. Kemudian setelah itu bergabung dengan Inter Milan lalu dipinjamkan kembali ke Brescia pada 2001 untuk mematangkan permainannya. Di Brescia, Pirlo diberikan posisi bermain di belakang striker oleh pelatih Brescia waktu itu, Carlo Mazzone.

Sebuah passing yang terkenal dari Pirlo saat di Brescia mungkin adalah umpan panjangnya kepada Roberto Baggio ketika mencetak gol saat melawan Juventus pada tahun itu. Dengan waktu yang sedikit, Pirlo memutuskan mengirimkan umpan lambung dari area belakang membelah pertahanan Juventus untuk seorang Roberto Baggio yang sedang berlari kedepan. Kontrol bola Baggio dan penyelesaian akhirnya sangatlah mengagumkan, dan itu merupakan hasil kreasi umpan Pirlo. Saat itu Pirlo masih muda. Terbayang masa depannya akan seperti apa.

Kemudian setelah itu Pirlo pindah dari Inter Milan ke AC Milan, untuk bergabung dengan pelatih Carlo Ancelotti. Pada saat yang bersamaan, Brescia mengganti Pirlo dengan Pep Guardiola, seorang legenda Regista yang sudah bertahun-tahun bermain di Barcelona. Di AC Milan, Ancelotti memainkan Pirlo di posisi baru: Deep-lying Playmaker. Bukan hanya itu saja, Ancelotti membangun tim (khususnya sektor gelandang) untuk mendukung posisi baru Pirlo ini. Dengan gaya permainan keras seorang Gennaro Gattuso dan seorang ball-winner Massimo Ambrosini di depannya, Pirlo diberikan keleluasaan untuk mengatur permainan.

Kepergian Ancelotti ke Chelsea pada 2009 dan digantikkan oleh Massimiliano Allegri secara tidak langsung menandakan akhir keabadian Pirlo di jantung permainan Milan. Allegri membawa Mark van Bommel untuk merotasi skema taktik di lapangan tengah Milan. Pada akhirnya, Pirlo diberikan secara cuma-cuma ke Juventus pada tahun 2011. Beberapa pihak menyebut bahwa Milan sudah menyia-nyiakan bakat Pirlo dengan membuang pemain berharganya.

Sudah hampir empat musim Pirlo meninggalkan Milan ke Juventus, ia sudah memenangkan semua gelar scudetto sejak saat itu. Ketika Allegri ditunjuk untuk menggantikan Antonio Conte sebagai suksesornya, Allegri tidak punya pilihan lain selain menunjukkan respek yang tinggi kepada Pirlo sebagai pusat permainan Juventus. Di Juventus, Allegri tetap menjaga keharmonisan skuad dengan memberikan ruang kepada Pirlo dalam skema regista 4-1-3-2.

Apa yang sudah Pirlo mainkan selama hampir dua dekade telah memberikan transformasi terhadap cara sepakbola Italia memperlakukan seorang deep-lying playmaker. Sebelumnya, seperti yang dijabarkan oleh para jurnalis sepakbola Italia, kultur cattenaccio bukanlah mementingkan kecepatan lari tetapi justru difokuskan ke pertahanan. Secara tradisional, pemikiran tentang menempatkan seorang playmaker di depan barisan pertahanan, seperti Pirlo, disebut sangat berisiko karena tipikal pemain yang berada di area tersebut membutuhkan kekuatan dan determinasi tinggi untuk memutus serangan lawan.

Salah satu contoh untuk memahami pernyataan tersebut yaitu ketika dulu Fabio Capello menangani Real Madrid, ia mengatakan bahwa seorang Fernando Redondo adalah pemain yang terlalu elegan untuk bermain di depan barisan pertahanan. Capello selalu menginginkan seorang pemain yang kuat di posisi itu; ia memakai Marcel Desailly di pusat lapangan tengah ketika di AC Milan, dan merasa kemampuan Redondo lebih cocok untuk ditaruh lebih kedepan.

Ketika Sir Alex Ferguson memboyong Carrick dari Tottenham Hotspur senilai £18,6 juta, ia menjadi pembelian termahal United keenam sepanjang sejarah pada waktu itu. Carrick juga diberikan nomor punggung 16 yang sebelumnya dipakai oleh seorang box to box, Roy Keane. Beberapa pengamat melihat akuisisi Carrick adalah untuk menggantikan seorang Roy, tetapi sebenarnya bukan itu yang diinginkan oleh Sir Alex. Memang, kepergian Roy Keane meninggalkan lubang di jantung pertahanan, tetapi Sir Alex tidak tertarik untuk menambal lubang itu, justru ia menginginkan pemain yang dapat menambah ketajaman serangan di lapangan tengah.

Mengetahui bahwa timnya membutuhkan gelandang penyeimbang, Ferguson menjadikan Carrick sebagai ball-playing midfielder. Kedatangannya membuat United yang terbiasa memakai formasi 4-4-2 langsung beradaptasi menggunakan campuran 4-3-3 dengan 4-2-3-1 dimana sistem tersebut melibatkan Carrick didalamnya.

Carrick tidak pernah mencapai puncak tertinggi seperti Pirlo dan Alonso miliki karena memang Carrick bukan seperti mereka yang dapat terus menjaga konsistensinya. Tidak berbeda pula ketika di timnas Inggris, Carrick selalu terpinggirkan sepanjang keikutsertaannya di turnamen besar. Dimana cuma ada dua pilihan antara Steven Gerrard dan Frank Lampard untuk mengisi pos dua gelandang tengah pada 4-4-2. Timnas Inggris menghilangkan kesempatan untuk memainkan Carrick di antara dua pemain tersebut. Baru ketika Roy Hodgson menangani Inggris, timnas baru mulai melihat keuntungan menggunakan formasi gelandang berlian dengan memainkan Carrick di tengahnya.

Memasuki usia 34, Carrick mempunyai kesempatan unjuk gigi kepada klub dan negaranya pada masa mendatang. Orang-orang mulai membayangkan seberapa lama Carrick bisa bertahan dalam permainan mengingat usianya. Tetapi mengacu kepada sang master, usia bukanlah sebuah masalah bagi seorang Regista.

Yusuf Taqwil, seorang pemerhati sepakbola yang masih kacangan.

Perspektif Saya : Guti Hernandez

GUTI

Memiliki hampir 550 penampilan, 15 trofi dan loyalitas selama 25 tahun mengabdi; Jose Maria Gutiérez Hernandez, atau biasa dipanggil Guti, adalah seorang “one club man” untuk sebuah klub terbesar di dunia.

Untuk sebagian orang, karir Guti di Real Madrid tidak pernah bisa mendapat jaminan tim inti. Bakatnya yang potensial sering tidak dianggap oleh para manajer-manajer yang melatihnya bertahun-tahun disana. Padahal Guti sering dijadikan patokan sebuah ekspektasi untuk menjadi lambang kesuksesan akademi Real Madrid oleh publik, termasuk Raul Gonzales, si anak emas.

Ekspektasi tersebut sering disebutkan oleh presiden Ramon Calderon sebagai sebuah “Janji Abadi”. Dia berharap pemain-pemain lulusan akademi bisa bersaing pula di dalam tim yang bertaburkan bintang seperti di Real. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa ketika Florentino Perez membuat Galacticos-nya yang pertama, terjadi bentrokan kesepahaman di antara staf pelatih Real Madrid karena kebijakannya itu dan terbuka pula perselisihan dengan mengangkat isu diantara dua kubu “Zidanes-Pavones”. Kombinasi antara beban ekspektasi yang berlebihan serta Guti yang temperamental menjadikannya sulit berkembang menjadi seorang pemain bintang. Bahkan untuk seorang pemain yang memiliki professional manner pun, jika dibebankan tekanan seperti itu mungkin akan terjatuh, tapi untuk Guti itu seperti akan menggagalkan karirnya dengan besarnya ambisi para petinggi klub yang berada di sekitarnya.

Seorang gelandang, yang bisa juga menjadi striker mematikan, yang menjadi sebuah bagian kreatifitas di lapangan tengah Galacticos, Guti sering disebut bermain terlalu serakah. Di sisi lain pula, ia sering disebut perusak, tidak pernah percaya kepada rekan setimnya dan yang paling menyakitkan, Guti sering disebut tidak pantas memakai seragam Real Madrid oleh beberapa fans. Ketidak-konsistensian melekat di reputasi karirnya, dengan hanya mengecap 13 caps di timnas Spanyol selama 6 tahun pada level internasional, membuktikan bahwa anggapan-anggapan itu benar adanya.

Guti bergabung dengan Real Madrid ketika berumur 8 tahun, menjalani pertandingan bersama tim C dan B sebelum menembus tim utama ketika bermain melawan Sevilla pada tahun 1995. Pertandingan melawan Sevilla selalu spesial bagi Guti ketika ia bermain. Guti tampaknya selalu menampilkan permainan terbaiknya ketika berjumpa Sevilla.

Musim terbaik Guti datang pada musim 2000/2001 ketika Vicente Del Bosque waktu itu memintanya untuk menggantikan striker yang sedang cedera, Fernando Morientes. Guti mencetak 14 gol pada musim itu, terbanyak sepanjang karirnya dalam satu musim kompetisi, dan menjadikannya faktor penting dalam perebutan titel liga yang ke 28 untuk Los Blancos.

Permintaan Del Bosque waktu itu membuat permainannya berkembang di tim inti. Ketika striker Brazil, Ronaldo, masuk pada musim panas 2002 setelah menjuarai Piala Dunia, Guti dikembalikan ke posisi naturalnya. Ketika Zinedine Zidane pensiun pada 2006, Guti tidak diharapkan oleh sebagian besar publik Madrid untuk meneruskan posisi sebagai penghubung kreatif di lapangan tengah. Bahkan ketika dahulu dia mulai mendapatkan garansi tim inti, fans Real lebih menginginkan Guti untuk mereplikasi gaya main Clarence Seedorf, yang ketika itu hengkang ke Internazionale Milan pada 1999. Hal tersebut bukanlah yang diinginkan olehnya, dan pada sekitar bulan Juni 2003, Guti mengatakan kepada pers :

All the doors are closing on me. I was improving as a midfielder and Zidane arrived. I was improving as a forward and Ronaldo arrived. I’m now in the national team as a midfielder and Beckham comes.

Argumentasi tersebut tampak sebagai luapan kekecewaannya terhadap Real Madrid yang membuatnya sulit mengembangkan bakatnya yang potensial karena Los Galacticos tidak mengijinkannya bermain di posisi naturalnya, tetapi membuatnya bermain di banyak posisi yang mengakibatkan ia sulit menjadi seorang masterful di posisi tengah. Bintang-bintang Galacticos datang dan pergi, tetapi Guti tetap di tim itu. Guti akan selalu saya ingat sebagai seorang pemain tengah dengan passing terbaik di eranya, walaupun ia sering disingkirkan untuk memberi jalan kepada Galacticos yang datang silih berganti. Ketika kedatangannya pertama kali, Ronaldo menyebut Guti sebagai talenta terbaik di dalam tim tersebut.

guti (1)

Kejeniusannya akan sebuah imajinasi passing selalu diingat ketika saat pertandingan melawan Deportivo pada 2010. Berdiri di dekat gawang dan berhadapan dengan kiper lawan, Guti memilih melakukan back-heel kepada Karim Benzema daripada mencetak gol sendiri. Gerakannya tersebut membuat kiper lawan, yang sudah mengantisipasi tendangan, hanya bisa terjatuh di rumput ketika Benzema menendang bola masuk ke dalam gawang.

guti_vs_sevilla

Penampilannya yang lebih brillian akan sebuah imajinasi passing datang pada saat perjumpaan melawan Sevilla musim 2006/2007. Ketika itu pertandingan dilangsungkan di Santiago Bernabeu. Tim Fabio Capello saat itu tertinggal 0-1 sampai pertengahan babak. Dan pada awal second half, Guti dimasukkan oleh Capello untuk menggantikan Raul dan menggantikan ban kapten. Dalam penampilan penggantinya selama 45 menit, Guti menunjukkan kelasnya dengan memberikan dua passing brilian yang menghasilkan assist untuk Ruud van Nistelrooy dan Robinho serta membawa Madrid membalikkan skor menjadi 3-1. Seketika timbul anggapan, inilah pemain yang bisa menggantikan posisi Zidane di lapangan tengah, memainkan bola dengan tenang dan menyerang dari bawah.

Tapi sayangnya, penampilan Guti tidak stabil pada musim itu. Ketika Capello mengambil alih tongkat kepelatihan pada 2005/2006, ia menginginkan untuk membangun tim di sekitar Guti. Capello beranggapan bahwa kemampuan dan bakat Guti bisa terpenuhi jika mendapat support dan bantuan tim. Ini membuat Calderon dan para fans pada waktu itu kurang begitu menyukai Capello.

Pada akhirnya Capello menyadari bahwa ia tidak bisa menggantungkan kepercayaan kepada Guti yang sering menjadi pemain yang merusak skema taktik dan menjadi figur yang tidak diinginkan ketika dimainkan sejak awal pertandingan babak pertama. Akibatnya penampilan sebagai pemain pengganti mulai sering diberikan kepada Guti. Dalam porsi yang kecil dan pada menit bermain yang sedikit, Guti akan menjadi pemain yang extremely effective.

Sifatnya yang temperamental adalah sebuah ganjalan untuk memaksimalkan bakatnya. Guti terkenal dengan kecemburuannya terhadap bintang-bintang yang datang silih berganti di Bernabeu. Alih-alih menimbulkan bentrokan terhadap bintang-bintang tersebut, Guti tampaknya memang senang menjadi pusat perhatian publik Madrid.

sevilla guti

Pernyataannya tentang gaya feminin para pesepakbola di luar lapangan tidak berhubungan dengan permainan sepakbola itu sendiri, mendapat perhatian publik Sapnyol pada umumnya. Ketika menghadapi Sevilla (lagi) pada 2009, Guti terprovokasi fans lawan dan terlihat meludahi salah seorang pemain Sevilla dan terjadi keributan ketika itu. Sontak para pemain melerai keributan tersebut. Guti terprovokasi permainan keras lawan dan juga teriakan-teriakan fans di tribun yang mengejeknya dengan memplesetkan namanya menjadi “Puti” alias “Jalang”.

Rumor berkembang bahwa ia adalah seorang trans-seksual, dan yang paling diangkat oleh publik adalah ketidaksukaannya kepada David Beckham. Ketika itu publik sering membanding-bandingkan kedua pemain dengan kedua karakternya. Keduanya mempunyai bakat yang hebat sebagai lulusan akademi masing-masing klub, keduanya juga mempunyai persamaan mengatur gaya rambutnya masing-masing. Kemudian, eksistensi seorang David Beckham mendapat komentar tersendiri dari Guti :

FILE+David+Beckham+Retire+Football+End+Season+sPvPyUwyAO_l

The rumours of potential signings do not bother me but it is not right that all the coverage is for Beckham before a game in La Liga. I do not understand, nor do I believe that it is right that for what we are playing for is gaining less coverage than Beckham.

Ketika ia benar-benar bergabung pada 2003, Beckham menjadi Galactico terakhir yang disambut oleh Guti untuk beradaptasi dengan baik disana. Ketika hubungan mereka berdua tidak pernah benar-benar harmonis pada mas empat tahun kontrak Beckham disana, Guti langsung mengucapkan kelegaannya ketika Beckham memutuskan pindah ke LA Galaxy pada 2007 :

Things have settle down. Beckham’s exit has calmed everything down. With him moving so has a lot of press. The departure of the famous players has brought a fresh air to the squad.

Ketika Guti memutuskan meninggalkan Madrid menuju Besiktas pada 2010, ia menggambarkan karirnya selama di Real Madrid. Untuk ukuran pemain yang telah menjadi wakil kapten selama bertahun-tahun disana, mengalami pergantian manajer berkali-kali, dan mengumpulkan lebih dari 500 penampilan, Guti tidak pernah merebut hati para fans Madrid. Keinginan Ramon Calderon untuk menjadikan bakat lulusan akademi berkembang ternyata berbanding terbalik dengan kebijakan klub dalam memburu pemain bintang.

Sejarah mencatat bahwa dua gol penting Real Madrid, gol ke 5000 Real Madrid di La LIga dan gol ke 500 mereka di Liga Champions, keduanya dicetak oleh Guti Hernandez. Biarpun dengan segala ketidakstabilan performance level nya, Guti merepresentasikan kemampuan bertahan seorang pemain akademi di era Galacticos. Guti akan tercatat selamanya di hall of fame Real Madrid yang sayangnya tidak diharapkan oleh banyak orang.

Yusuf Taqwil, pemerhati sepakbola yang masih kacangan.